Tuesday, August 27, 2019

Masalah Besar Sektor Properti 2019


Presiden Joko Widodo mengaku telah memetakan tiga masalah besar di sektor properti sepanjang pengalamannya, mulai sejak menjadi Wali Kota, Gubernur hingga saat ini menjadi orang nomor satu di Indonesia. 
Jokowi menuturkan, hal itu, ia dapati sejak sering berdiskusi dengan para pengembang perumahan atau semenjak ia duduk di kursi birokrat mengurus izin pembangunan.
"Saya sering berbicara dengan pengembang properti, perumahan, baik skala kecil, sedang, atau besar, dari situ saya tau bahwa ada tiga masalah besar yang dihadapi bapak ibu pengembang properti," kata Jokowi. 
1.  Perizinan.
Ini yang selalu menjadi keluhan pengembang. Masalah ini, Jokowi bilang dari dahulu sampai sekarang tidak pernah rampung. "Saya titip semua, perda yang ruwet itu langsung dihilangkan sajalah. Batalin”. Enggak usah buat perda yang banyak. Semakin sedikit buat perda semakin baik, apalagi meruwetkan hal yang sebetulnya mudah," ujar dia.
Setiap pengusaha semestinya pernah berurusan dengan hal ini. Entah pengurusan izin sederhana hingga kompleks. Mungkin pula ada yang sudah masygul ketika mendengar kata tersebut, apalagi jika disuruh mengurusnya. Ya, suka tidak suka perizinan masih menjadi persoalan bagi negara berpenduduk sekitar 250 juta penduduk ini. Padahal, mudah tidaknya perizinan amat menentukan iklim investasi suatu negara.

Jika perizinan rumit dan berbelit-belit masih menghantui, investor bisa saja hengkang atau ogah menanam modalnya. Berdasarkan Laporan Bank Dunia, dalam laporan terbaru yang berjudul “Doing Business 2019: Training to Reform” menempatkan Indonesia pada peringkat ke-73 (tujuh puluh tiga) dari 190 (seratus sembilan puluh) negara dalam kemudahan berusaha di tahun 2019.


Dari 10 indikator EODB yang dinilai Bank Dunia, peringkat Indonesia turun di empat bidang dan naik di enam lainnya. Indikator yang mengalami penurunan peringkat adalah dealing with construction permit (dari 108 menjadi 112), protecting minority investors (dari 43 menjadi 51), trading across borders (dari 112 ke 116), dan enforcing contracts (dari 145 ke 146).
Sementara itu, tiga indikator yang mencatatkan kenaikan peringkat tertinggi dalam laporan tahun ini dibandingkan tahun lalu adalah starting a business (dari 144 ke 134), registering property (dari 106 ke 100), dan getting credit (dari 55 ke 44).
Terkait penilaian indeks kemudahan berusaha tersebut, Pemerintah Provinsi DKI jakarta dan Pemerintah Kota Surabaya menjadi objek penilaian di tingkat daerah sebagai perwakilan Indonesia, terutama berkontribusi terhadap penilaian dua indikator yaitu starting a business dan dealing with construction permits dengan bobot penilaian 78% di Jakarta dan 22% di Surabaya.
Kesulitan mengurus izin terutama dialami pengembang-pengembang di daerah. Proses perizinan bisa memakan waktu satu tahun, bahkan lebih. Pemerintah memang telah berusaha menyederhanakan regulasi, contohya melalui kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). “Kami memantau sudah banyak kepala daerah yang komitmen menyederhanakan perizinan, tetapi belum ada tindak lanjut dalam bentuk perda (peraturan daerah),” ucapnya. Perda tersebut diperlukan sebagai tindak lanjut implementasi PP Nomor 64 Tahun 2016. “Mungkin proses penerbitan perda lama karena harus dibahas dengan DPRD”.

"Tolong nanti untuk REI, yang masih susah izinnya, yang masih belum dipangkas, tolong diberitahukan kepada saya. Langsung saya telepon gubernur, bupati dan wali kotanya," ujar Presiden. Jokowi mengatakan, persoalan perizinan dalam industri properti memang masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Mantan Wali Kota Solo itu mendengar masih ada pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi yang lamban dalam mengeluarkan izin perumahan. "Saya kira sudah kuno sekali kalau mengurus izin sampai harian. Apalagi sampai mingguan, lebih kuno lagi. Apalagi sampai bulan, sangat kuno sekali. Malu-maluin lah kalau izin sampai berbulan-bulan. Sudah enggak zamannya," ujar Jokowi kala itu.

2.  Terbatasnya Lahan.
Menurut Jokowi, ini adalah masalah besar yang hadapi negara, di mana saat jumlah penduduk bertambah namun di sisi lain lahan selalu tetap. Mantan Wali Kota Solo ini pun menjelaskan kondisi saat ini, di mana pemerintah belum punya bank tanah atau land bank. Bank tanah ini justru yang nanti akan memudahkan ketika membangun suatu kebutuhan dalam pembangunan. 

"Jika tidak diselesaikan ini akan menjadi masalah besar. Sehingga, saya juga minta setiap daerah menyiapkan bank tanah sehingga gampang kalau kita ingin bangun sesuatu. Karena tanahnya sudah ada, jangan sampai justru nanti spekulan atau mafia tanah yang menguasai, sehingga harga tanah jadi tidak wajar dan naik," tutur dia.
Masalah pembebasan tanah kerap menjadi salah satu soal yang paling krusial. Banyak faktor yang membuat pembebasan tanah menjadi rumit bagi para pengembang.Eddy Ganefo, Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyampaikan bahwa saat ini status tanah menjadi persoalan mendasar. Pasalnya, tidak serta merta dengan adanya sertifikat tanah maka pengembang akan bebas dari konflik.
Apalagi di Indonesia status tanah masih ada yang tumpang tindih dengan tanah adat. Belum lagi permasalah tanah waris, kendati sudah berbentuk sertifikat, nyatanya tanah waris kerap menimbulkan masalah-masalah bagi pengembang.

Lain dari itu untuk memudahkan pembebasan tanah tak jarang pengembang mengandalkan pihak lain. Hal ini yang justru membuat harga tanah naik tidak wajar. Padahal wajarnya peningkatan hanya 2,5% saja.
"Macam-macam cara pembebasan lahan tergantung daerah masing-masing, ada yang pakai centeng dan lainnya, ini membuat harga tanah tinggi. Itu sudah pasti ada permainan, karena perantara kan biasanya paling 2,5% kalau ini bisa 10% lebih naiknya," ujarnya

3.  Perencanaan dan Pengendalian Tata Ruang.
Perencanaan dan pengendalian tata ruang, terutama integrasi perumahan dengan fasilitas publik. "Saya tahu banyak pengembang menarik diri karena susah dapat alokasi air bersih untuk rencana lokasi perumahannya, atau tidak terintegrasi dengan transportasi umum. Ini kewajiban pemda untuk melihat tata ruang yang ada sehingga terintegrasi perumahan dengan fasilitas publik yang ada," tutup Jokowi.


Apa yang terjadi di Indonesia sejak zaman Le Corbusier hingga New Urban Agenda?  Ternyata, Indonesia mengalami paceklik produk perencanaan. Paceklik produk perencanaan ini sudah mentradisi sejak 30 tahun terakhir. Perkembangan politik perencanaan di tanah air berujung pada mandeknya karya perencanaan ruang yang bisa dianggap sebagai terobosan dalam pemanfaatan ruang, maupun perubahan peruntukan ruang di Indonesia. 

Satu dekade diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyisakan banyak pertanyaan. Terutama tentang kualitas produk rencana tata ruang, keterbatasan biaya perencanaan, dan miskinnya kognisi dalam dinamika 3 aspek proses merencana, yaitu teknoratis, partisipatif, dan legislatif.


Sumber :


No comments:

Post a Comment