Presiden Joko Widodo
mengaku telah memetakan tiga masalah besar di sektor properti sepanjang
pengalamannya, mulai sejak menjadi Wali Kota, Gubernur hingga saat ini menjadi
orang nomor satu di Indonesia.
Jokowi menuturkan, hal
itu, ia dapati sejak sering berdiskusi dengan para pengembang perumahan atau
semenjak ia duduk di kursi birokrat mengurus izin pembangunan.
"Saya sering
berbicara dengan pengembang properti, perumahan, baik skala kecil, sedang, atau
besar, dari situ saya tau bahwa ada tiga masalah besar yang dihadapi bapak ibu
pengembang properti," kata Jokowi.
1. Perizinan.
Ini yang selalu menjadi
keluhan pengembang. Masalah ini, Jokowi bilang dari dahulu sampai sekarang
tidak pernah rampung. "Saya titip semua, perda yang ruwet itu langsung
dihilangkan sajalah. “Batalin”. Enggak usah buat perda
yang banyak. Semakin sedikit buat perda semakin baik, apalagi meruwetkan hal
yang sebetulnya mudah," ujar dia.
Setiap pengusaha
semestinya pernah berurusan dengan hal ini. Entah pengurusan izin sederhana
hingga kompleks. Mungkin pula ada yang sudah masygul ketika mendengar kata
tersebut, apalagi jika disuruh mengurusnya. Ya, suka tidak suka perizinan masih
menjadi persoalan bagi negara berpenduduk sekitar 250 juta penduduk ini.
Padahal, mudah tidaknya perizinan amat menentukan iklim investasi suatu negara.
Jika perizinan rumit dan berbelit-belit
masih menghantui, investor bisa saja hengkang atau ogah menanam modalnya.
Berdasarkan Laporan Bank Dunia, dalam laporan terbaru yang berjudul “Doing
Business 2019: Training to Reform” menempatkan Indonesia pada peringkat ke-73
(tujuh puluh tiga) dari 190 (seratus sembilan puluh) negara dalam kemudahan
berusaha di tahun 2019.
Dari 10 indikator EODB
yang dinilai Bank Dunia, peringkat Indonesia turun di empat bidang dan naik di
enam lainnya. Indikator yang mengalami penurunan peringkat adalah dealing
with construction permit (dari
108 menjadi 112), protecting minority investors (dari 43 menjadi 51), trading
across borders (dari
112 ke 116), dan enforcing contracts (dari 145 ke 146).
Sementara itu, tiga
indikator yang mencatatkan kenaikan peringkat tertinggi dalam laporan tahun ini
dibandingkan tahun lalu adalah starting a business (dari 144 ke 134), registering
property (dari 106 ke
100), dan getting credit (dari 55 ke 44).
Terkait penilaian
indeks kemudahan berusaha tersebut, Pemerintah Provinsi DKI jakarta dan
Pemerintah Kota Surabaya menjadi objek penilaian di tingkat daerah sebagai
perwakilan Indonesia, terutama berkontribusi terhadap penilaian dua indikator
yaitu starting a business dan dealing with construction permits dengan bobot
penilaian 78% di Jakarta dan 22% di Surabaya.
Kesulitan mengurus izin
terutama dialami pengembang-pengembang di daerah. Proses perizinan bisa memakan
waktu satu tahun, bahkan lebih. Pemerintah memang telah berusaha
menyederhanakan regulasi, contohya melalui kehadiran Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR). “Kami memantau sudah banyak kepala daerah yang komitmen
menyederhanakan perizinan, tetapi belum ada tindak lanjut dalam bentuk perda
(peraturan daerah),” ucapnya. Perda tersebut diperlukan sebagai tindak lanjut
implementasi PP Nomor 64 Tahun 2016. “Mungkin proses penerbitan perda lama karena
harus dibahas dengan DPRD”.
"Tolong nanti untuk
REI, yang masih susah izinnya, yang masih belum dipangkas, tolong diberitahukan
kepada saya. Langsung saya telepon gubernur, bupati dan wali kotanya,"
ujar Presiden. Jokowi mengatakan, persoalan perizinan dalam industri properti
memang masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Mantan Wali Kota Solo itu
mendengar masih ada pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten, kota, maupun
provinsi yang lamban dalam mengeluarkan izin perumahan. "Saya kira sudah
kuno sekali kalau mengurus izin sampai harian. Apalagi sampai mingguan, lebih
kuno lagi. Apalagi sampai bulan, sangat kuno sekali. Malu-maluin lah kalau izin
sampai berbulan-bulan. Sudah enggak zamannya," ujar Jokowi kala itu.
2. Terbatasnya Lahan.
Menurut Jokowi, ini
adalah masalah besar yang hadapi negara, di mana saat jumlah penduduk bertambah
namun di sisi lain lahan selalu tetap. Mantan Wali Kota Solo ini pun
menjelaskan kondisi saat ini, di mana pemerintah belum punya bank tanah atau land
bank.
Bank tanah ini justru yang nanti akan memudahkan ketika membangun suatu
kebutuhan dalam pembangunan.
"Jika tidak
diselesaikan ini akan menjadi masalah besar. Sehingga, saya juga minta setiap daerah
menyiapkan bank tanah sehingga gampang kalau kita ingin bangun sesuatu. Karena
tanahnya sudah ada, jangan sampai justru nanti spekulan atau mafia tanah yang
menguasai, sehingga harga tanah jadi tidak wajar dan naik," tutur dia.
Masalah pembebasan tanah kerap menjadi salah satu soal yang
paling krusial. Banyak faktor yang membuat pembebasan tanah menjadi rumit bagi
para pengembang.Eddy Ganefo, Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengembang
Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyampaikan bahwa saat ini
status tanah menjadi persoalan mendasar. Pasalnya, tidak serta merta dengan
adanya sertifikat tanah maka pengembang akan bebas dari konflik.
Apalagi di Indonesia status tanah masih ada yang tumpang tindih
dengan tanah adat. Belum lagi permasalah tanah waris, kendati sudah berbentuk
sertifikat, nyatanya tanah waris kerap menimbulkan masalah-masalah bagi
pengembang.
Lain dari itu untuk memudahkan pembebasan tanah tak jarang
pengembang mengandalkan pihak lain. Hal ini yang justru membuat harga tanah
naik tidak wajar. Padahal wajarnya peningkatan hanya 2,5% saja.
"Macam-macam cara pembebasan lahan tergantung daerah
masing-masing, ada yang pakai centeng dan lainnya, ini membuat harga tanah
tinggi. Itu sudah pasti ada permainan, karena perantara kan biasanya paling
2,5% kalau ini bisa 10% lebih naiknya," ujarnya
3. Perencanaan dan Pengendalian Tata Ruang.
Perencanaan dan
pengendalian tata ruang, terutama integrasi perumahan dengan fasilitas publik. "Saya
tahu banyak pengembang menarik diri karena susah dapat alokasi air bersih untuk
rencana lokasi perumahannya, atau tidak terintegrasi dengan transportasi umum.
Ini kewajiban pemda untuk melihat tata ruang yang ada sehingga terintegrasi
perumahan dengan fasilitas publik yang ada," tutup Jokowi.
Apa
yang terjadi di Indonesia sejak zaman Le Corbusier hingga New Urban
Agenda? Ternyata, Indonesia mengalami paceklik produk perencanaan.
Paceklik produk perencanaan ini sudah mentradisi sejak 30 tahun terakhir.
Perkembangan politik perencanaan di tanah air berujung pada mandeknya karya
perencanaan ruang yang bisa dianggap sebagai terobosan dalam pemanfaatan ruang,
maupun perubahan peruntukan ruang di Indonesia.
Satu dekade diberlakukannya UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyisakan banyak pertanyaan.
Terutama tentang kualitas produk rencana tata ruang, keterbatasan biaya
perencanaan, dan miskinnya kognisi dalam dinamika 3 aspek proses merencana,
yaitu teknoratis, partisipatif, dan legislatif.
Sumber :
No comments:
Post a Comment