Sumber : bagelenchanel.com
Penurunan daya beli masyarakat
yang kerap disebut-sebut selama ini memang benar terjadi. Penurunan daya beli
tersebut khususnya terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah. Ekonom Center
of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengungkapkan, data yang diterbitkan Badan
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, “Selama lebih dari satu tahun terakhir
terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama
di perkotaan”.
Faisal menyatakan, hal
ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah jika inflasi tahun ini terkendali.
Menurut dia, memang benar jika inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini
sangat rendah. Namun, kenaikan tarif listrik, elpiji dan lain-lain justru
membuat inflasi meningkat dua kali lipat. Muhammad Faisal mengatakan proporsi
pendapatan yang dibelanjakan pada kuartal I-2018 menurun menjadi 64,1 persen.
Lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu, di mana proporsi pendapatan
yang dibelanjakan berada di angka 65,2 persen. "Konsumsi swasta pada
triwulan pertama 2018 belum menunjukan indikasi pemulihan," ujarnya dalam
paparan di Hong Kong Cafe, Jakarta, Selasa (24/4).
Sebelumnya, Direktur Institute
for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan,
dalam beberapa tahun terakhir Indonesia tengah mengalami penurunan daya beli
masyarakat, meskipun Bank Indonesia (BI) mengklaim inflasi nasional berada dalam
tingkat yang stabil rendah. Penurunan
daya beli masyarakat ini terlihat dari anjloknya pertumbuhan sektor bisnis
seperti properti, ritel serta industri makanan dan minuman.
"Yang terjadi sekarang itu sebenarnya penurunan daya beli, makanya di
properti tidak tumbuh, di sektor ritel pertumbuhannya minus, dan juga
industri-industri basic seperti pangan juga mengalami perlambatan," ujar
dia di Kantor Indef, Jakarta.
Investasi pada properti menjadi
salah satu pilihan masyarakat dengan harapan harga akan terus meningkat di tiap
tahun. Namun tahun ini harga properti, khususnya apartemen, tahun ini
sepertinya sedang stagnan, artinya jika anda membeli properti tahun lalu, dan
menjualnya saat ini, ada potensi anda akan mengalami kerugian. Ketersediaan (supply) yang tinggi dan tidak diiringi
oleh permintaan (demand) yang
sebanding mengakibatkan harga properti dalam bentuk apartemen dan gedung yang
disewa khususnya di Kota Jakarta terus menurun.
"Secara umum, sektor
properti masih belum menunjukkan recovery
(pemulihan), masih lesu. Kami prediksikan hingga akhir tahun 2018".
Demikian Senior Associate Director Colliers International Indonesia Ferry
Salanto menjawab pertanyaan Kompas.com, Rabu (4/7/2018), di Jakarta. Menurut
Ferry perlambatan terjadi di semua sub sektor, terutama perkantoran. Selain itu
juga performa pusat belanja (ritel), kawasan industri, apartemen strata dan
sewa, hotel, serta rumah untuk ekspatriat yang menunjukkan stagnasi. "Khusus untuk peningkatan permintaan ruang tidak
sejalan dengan peningkatan tarif sewa," kata Ferry.
Sumber : jawapos.com
Selain itu, menurut data dari
Savills World Research Indonesia, ruang perkantoran Central Business District
(CBD) Jakarta periode 2018-2021 akan bertambah ketersediannya menjadi 1,7 juta
meter persegi, dengan 600 ribu meter persegi ruang kantor yang dijadwalkan
selesai. Secara rata-rata, harga sewa gedung perkantoran di CBD juga mengalami
penurunan sebesar 4,1% pada akhir 2017 menjadi Rp 206 ribu per meter persegi
perbulannya. Dengan pasokan ruang kantor yang baru dan tidak diiringi dengan
pertumbuhan permintaan, kekosongan ruang perkantoran di wilayah CBD meningkat
menjadi 21,3% dari sebelumnya 17% untuk bangunan premium grade. Lalu kekosongan
untuk bangunan Grade A meningkat menjadi 30,5% pada 2017 dibandingkan pada 2016
sebesar 24,6%. Serta kekosongan bangunan untuk kelas B dan C meningkat
masing-masing 13,5% serta 13,6% pada 2017.
Sumber :
https://properti.kompas.com/read/2018/07/04/223000021/sektor-properti-masih-lesu
No comments:
Post a Comment