Sebelum kita membahas mengenai tata cara
pensertifikatan tanah girik, saya merasa perlu untuk menjelaskan, apa itu tanah
girik. Secara awam, tanah girik adalah istilah
populer dari tanah-tanah yang belum bersertifikat. Walaupun itu berbentuk tanah bekas hak milik adat atau tanah-tanah hak
lain (seperti Eigendom, Verponding, dll) yang belum di konversi menjadi salah
satu tanah hak tertentu (Hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna
usaha). Tanah bekas hak milik adat yang
belum didaftarkan atau di sertifikat kan pada Kantor Pertanahan setempat di
lingkungan masyarakat sebutannya bisa bermacam2, antara lain: girik, petok D,
rincik, ketitir, dll.
Selain tanah bekas hak milik adat, masih terdapat
beberapa jenis tanah lainnya, yaitu: tanah garapan, tanah verdedaal (milik tuan
tanah), tanah hak sewa jaman belanda, serta tanah-tanah verponding lainnya.
Berbeda dengan “Tanah Girik” yang merupakan tanah bekas hak milik adat,
tanah-tanah hak barat seperti Verponding Indonesia, Eigendom Verponding,
erfpacht, opstaal, vruchtgebruik, dll. Tanah-tanah hak barat tersebut seharus
nya pada tahun 1960 pada saat lakukannya unifikasi Hukum Tanah dengan lahirnya
Undang-Undang Pokok Agraria, maka seluruh tanah-tanah hak barat dan tanah adat
dilakukan konversi secara serentak. Namun demikian, di lapangan masih banyak
rakyat yang karena ketidak fahamannya, belum mengajukan permohonan konversi hak
atas tanah yang dimilikinya. Untuk penjelasan tentang hak-hak barat tersebut bisa
di baca di sini
Berhubung terdapat begitu banyaknya jenis hak atas
tanah yang belum bersertifikat, dengan metode pendaftaran (pensertifikatan)
yang berbeda-beda, maka perlu saya buat disclaimer di sini, bahwa dalam
pembahasan kita kali ini adalah metode pendaftaran/pensertifikatan atas tanah
girik yang merupakan tanah bekas hak milik adat. Karena dalam praktik jenis
tanah hak inilah yang paling banyak terjadi di lapangan. Pensertifikatan untuk
tanah-tanah jenis hak lainnya maupun permohonan konversi atas tanah-tanah hak
barat akan saya bahas kemudian secara tersendiri. Insya Allah! :-)
Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya
dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat
luas, dan kemudian di bagi2 atau dipecah2 menjadi beberapa bidang tanah yang
lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di
hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya
dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada
surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusui kepemilikannya.
Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah
Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali. Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk tanah bekas hak milik adat
dan tanah garapan, dalam prakteknya prosesnya dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang
bersangkutan, yang menyatakan bahwa atas tanah tersebut belum pernah
disertifikatkan serta riwayat pemilikan tanah dimaksud yang dilampirkan dengan
surat RIWAYAT TANAH.
2. Pembuatan surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan
sengketa dari RT/RW/LURAH.
3. Dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan.
4. Penerbitan Gambar Situasi atau Surat Ukur, yang dilanjutkan dengan
pengesahannya.
5. Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan bangunan sesuai dengan luas
yang tercantum dalam Gambar Situasi atau Surat Ukur. Pembayaran BPHTB tersebut
dilakukan apabila tanah yang dimohon berasal dari tanah negara atau tanah
garapan. Atau dalam hal pada waktu proses pelaksanaan AJBnya dulu, BPHTB
tersebut belum dibayarkan. Jika berasal dari tanah bekas hak milik adat, tidak
ada biaya BPHTB tersebut.
6. Proses pertimbangan pada panitia A.
7. Pengumuman di Kantor Pertanahan dan Kantor Kelurahan/Kecamatan letak tanah
setempat selama lebih kurang 2 bulan.
8. Pengesahan pengumuman.
9. Penerbitan Sertifikat tanah.
Untuk proses pensertifikatan tanah tersebut hanya
dapat dilakukan jika pada waktu pengecekan di kantor kelurahan setempat dan
kantor pertanahan terbukti bahwa tanah tersebut memang belum pernah
disertifikatkan dan selama proses tersebut tidak ada pihak-pihak yang
mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah tersebut).
Pertanyaan yang paling sering ditanyakan sehubungan
dengan hal ini adalah:
1. Berapa
biaya yang diperlukan untuk mensertifikatkan tanah bekas hak milik adat
tersebut?
Hal ini sangat
variatif, tergantung dari 3 hal, yaitu :
(a). Lokasi Tanah.
(b). Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) dan
(c). Luas Tanah
dimaksud.
Untuk itu bisa
di konfirmasikan ke notaris ataupun kantor pertanahan setempat. Jika di lokasi
sekitar anda ada program PRONA atau pendaftaran tanah secara sistematik secara
serentak, ataupun program LARASITA, sebaiknya anda mengikuti. Karena itu
merupakan program dari pemerintah, sehingga tentunya biaya akan menjadi jauh
lebih ringan dan prosesnya akan menjadi lebih mudah dibandingkan jika anda
mendaftarkan atau mensertifikatkan tanah tersebut dengan inisiatif sendiri.
2. Berapa
lama prosesnya?
Apabila
syarat-syarat tersebut terpenuhi, dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak
tertentu, maka proses pensertifikatan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6
bulan sampai dengan 1 tahun. Namun, jika terjadi suatu kendala di lapangan,
seperti pemekaran wilayah, tuntutan dari pihak yang merasa berhak, atau
sengketa, proses tersebut bisa memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan.
Bahkan hal-hal yang tidak berhubungan juga bisa menghambat proses tersebut,
misalnya karena pergantian kepala kantor pertanahan, kesalahan penunjukan batas
atau gambar atau human error lainnya, juga bisa menghambat proses tersebut di
lapangan.
3. Siapakah
yang berhak untuk mengajukan pendaftaran/pensertifikatan tersebut?
Tentu saja yang
berhak adalah pemilik yang sah ataupun ahli waris yang sah dari tanah dimaksud
ataupun kuasa dari mereka. Sehingga, jika kepemilikan tanah tersebut masih
terdaftar atas nama nenek dari pihak yang akan mengajukan permohonan, harus
diurus dulu surat-surat waris (keterangan waris) yang menunjukkan bahwa pemohon
adalah ahli waris yang sah dari orang yang bersangkutan. Jika pemohon adalah
pembeli akhir dari tanah dimaksud, maka pemohon harus membuktikannya dengan
melampirkan asli akta jual beli tanah yang berkenaan.
4. Mengapa
setelah terbit sertifikat tanahnya, asli akta jual beli dan asli surat-surat
tidak dikembalikan ke kami?
Surat-surat
tanah yang asli beserta akta jual beli tersebut digunakan sebagai bukti
pendaftaran tanah, dan juga dasar penerbitan sertifikat tanah yang anda terima.
Hal ini juga mencegah agar asli surat-surat tanah dan akta jual beli tersebut
tidak beredar lagi di masyarakat untuk diperjual belikan. Sehingga tidak
terjadi potensi konflik di kemudian hari.
Semoga bermanfaat! :-)
Sumber : http://irmadevita.com/2012/bagaimana-cara-mensertifikatkan-tanah-girik/
No comments:
Post a Comment